Main Logo
INSIGHT/INDUSTRIES/FINANCE
HARNESSING NUCLEAR ENERGY AS A COMPONENT OF INDONESIA’S NEW AND RENEWABLE ENERGY STRATEGY
July 17, 2025
10 Min Read
shareShare
sharePrint
shareDownload

Pemanfaatan Tenaga Nuklir sebagai Energi Baru dan Terbarukan (EBT)



Transformasi penggunaan energi terbarukan di Indonesia dapat dikatakan belum terlaksana dengan optimal. Saat ini, kapasitas total pembangkit listrik di Indonesia mencapai kurang lebih 101 Giga Watt (GW), dengan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) hanya mencakup 15% dari total keseluruhan. Penggunaan EBT telah menunjukkan peningkatan dari 2017 yang hanya sebesar 9,43 GW atau sekitar 12,5%. Pemerintah melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) periode 2025—2034 berusaha untuk mempercepat pelaksanaan transformasi EBT tersebut. RUPTL menargetkan adanya penambahan pembangkit listrik dengan total kapasitas 69,5 GW hingga 2034, dengan 76% di antaranya berasal dari EBT.

Adanya kebijakan ini mendorong peluang bagi badan usaha privat untuk berinvestasi di sektor pembangkit listrik. Terdapat potensi investasi pembangkit listrik senilai Rp2.133,7 triliun di Indonesia, dengan Rp1.566,1 triliun atau 73% dialokasikan untuk Independent Power Producer (IPP). Pada 2023, Indonesia memiliki 387 unit pembangkit listrik milik swasta dengan total kapasitas terpasang 26,6 GW. Investasi yang dialokasikan untuk pembangkit EBT bagi IPP senilai Rp1.341,8 triliun dan untuk pembangkit non EBT senilai Rp224,3 triliun. PT PLN nantinya diharapkan dapat mengisi peluang investasi sisanya senilai Rp567,6 triliun.

 

Distribusi Rencana Penambahan Pembangkit Listrik

 

 

Indonesia yang masih bergantung terhadap listrik berbasis fosil sejak abad ke-20 berencana membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dengan kapasitas mencapai 3 GW pada 2035. Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menyebutkan bahwa PLTN pertama akan beroperasi pada tahun 2030 atau 2032. Di Indonesia sendiri, penelitian dan pengembangan nuklir telah dimulai dengan didirikannya Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) pada 1958. Selama puluhan tahun, Indonesia dirasa belum memiliki kesiapan untuk membangun infrastruktur yang sesuai dengan kondisi geologis.

Dalam pengembangan PLTN, Indonesia mengacu pada pedoman yang dikeluarkan International Atomic Energy Agency (IAEA) terkait ketenaganukliran. Terdapat 19 syarat kesiapan infrastruktur, termasuk di antaranya adalah keamanan nuklir, persiapan darurat, siklus energi nuklir, dan manajemen limbah radioaktif. Berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh IAEA tahun 2009, Indonesia telah memenuhi 16 dari 19 persyaratan yang ada. Saat ini, Indonesia telah melewati fase 1 yaitu pertimbangan awal dan menuju fase 2, yaitu fase lanjutan pelaksanaan pembangunan.

Survei dan studi lokasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan telah dilakukan oleh BATAN. Lembaga tersebut telah mempertimbangkan berbagai aspek, mulai dari kondisi kegempaan, besaran peak ground acceleration (PGA), bahaya gunung api, hingga sesar permukaan. Dari 28 wilayah potensial yang telah ditetapkan pada pelaksanaan pra-survei, potensi wilayah PLTN berada di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Kabupaten Melawi di Kalimantan Barat disebut memiliki cadangan uranium sebesar ±24.112 ton yang dapat berpotensi menjadi sumber bahan bakar utama PLTN.

Energi nuklir dianggap sebagai solusi strategis untuk mengurangi ketergantungan impor bahan bakar fosil. Sebagai contoh, Korea Selatan berhasil menurunkan impor batu bara dan minyak bumi sekitar 20% sepanjang kuartal pertama 2025 berkat peningkatan PLTN. Energi nuklir juga dapat secara signifikan mengurangi emisi gas rumah kaca. Hal ini karena energi nuklir memiliki jejak karbon serendah tenaga angin atau sepertiga dari energi surya. Selain itu, integrasi PLTN dalam bauran energi dapat meningkatkan ketahanan energi dan menstabilkan harga energi.

Di sisi lain, masih terdapat sejumlah kekhawatiran yang timbul dalam pikiran para akademisi dan masyarakat. Kesiapan sumber daya manusia dalam mengelola reaktor dengan aman menjadi keresahan utama, terlebih setelah insiden kontaminasi radioaktif di Perumahan Batan Indah Tangerang Selatan pada Januari 2020 lalu, akibat kelalaian pegawai BATAN dalam menyimpan zat radioaktif Cesium-137. Dalam membangun PLTN, dibutuhkan investasi awal yang besar, yang diperkirakan sekitar 45% lebih mahal dibandingkan PLTU batu bara. Hal ini juga menimbulkan kritik dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi masyarakat sipil yang berpandangan bahwa PLTN bukanlah prioritas, mengingat potensi EBT lain di Indonesia seperti geothermal, surya, dan angin belum digunakan secara maksimal.

Selain itu, banyak tantangan lain yang harus dihadapi dalam persiapan pembangunan PLTN, seperti desain infrastruktur yang tahan bencana, penetapan regulasi yang transparan, dan pertahanan pendirian politik yang netral terhadap negara tujuan impor teknologi. Saat ini, pemerintah melalui Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) sedang menyusun RUU Ketenaganukliran untuk menggantikan Undang-Undang No. 10 Tahun 1997 yang dinilai sudah tidak relevan.

 

 

Perjalanan Indonesia menuju pembangunan PLTN masih memerlukan banyak pertimbangan dan persiapan. Diketahui penyediaan PLTN direncanakan memiliki kapasitas 500 MW dengan saat ini sedang dilakukan studi kelayakan dalam pengembangannya untuk daerah Kalimantan Barat. PLN bersama dengan Kementerian ESDM saat ini juga membuka peluang kolaborasi dengan negara-negara lain dalam pengembangan PLTN. Ke depannya, pemerintah diharapkan mampu mengembangkan potensi tenaga nuklir di Indonesia dengan tetap memperhatikan standar dan regulasi yang berlaku, sekaligus mempertahankan kepercayaan masyarakat, akademisi, dan LSM dalam menyukseskan transformasi energi terbarukan di Indonesia.

 

Reference:

Have questions or need assistance?
Main Logo
office
Lina Building, 2nd Floor Unit 211
JL. Rasuna Said Kav. B7
South Jakarta 12910 - Indonesia
Workshop
At Braga Tech Office
Jl. Cilaki No.23, Bandung Wetan
Bandung City 40114 - Indonesia