Lipstik Effect: Ironi Tampil Cantik saat Ekonomi Terusik
Estée Lauder, salah satu perusahaan kecantikan raksasa terus berdiri kokoh dan memperkuat bisnisnya sejak berdiri pada 1946. Berawal dari produk cleansing oil, skin lotion, juga krim, produknya terus berkembang hingga menjadi salah satu merek bergengsi. Bisnis Estée Lauder semakin kokoh di pasar internasional sejak 1960.
Sekitar setengah abad kemudian, Leonard Lauder yang merupakan Chairman of the Board Estée Lauder menemukan fenomena menarik dalam bisnis perusahaannya. Penjualan lipstik Estée Lauder mencatatkan kenaikan yang berarti sejak 2001. Pada tahun itu, terdapat serangan ke Menara Kembar World Trade Center (WTC) di New York dan markas Pentagon di Virginia, Amerika Serikat, yakni pada 11 September 2001.
Tren kenaikan penjualan lipstik itu terus bertahan, beriringan dengan kondisi ekonomi yang tidak pasti. Leonard berhipotesis bahwa pembelian lipstik secara masif itu berkaitan dengan kondisi ekonomi makro dan pola konsumsi masyarakat.
Leonard kemudian mempublikasikan temuan itu pada 2008 melalui istilah yang begitu terkenal bernama Lipstick Effect, hipotesis bahwa konsumen akan lebih bersedia untuk membeli barang mewah (luxury goods) dengan harga yang lebih murah. Hipotesis itu muncul karena sepanjang masa resesi ekonomi Amerika Serikat, penjualan kosmetik terus meningkat.
Ketidakpastian ekonomi itu membuat orang-orang ingin tetap menikmati kebahagiaan atau kemewahan melalui barang-barang yang lebih murah, salah satunya dengan membeli kosmetik seperti lipstik. Secara keseluruhan masyarakat mungkin mengurangi konsumsinya saat kondisi ekonomi sedang tertekan, tetapi proporsi konsumsi itubergeser, di antaranya dengan melakukan 'belanja-belanja kecil' yang bisa membawa kebahagiaan—melalui kosmetik.
Studi MacDonald dan Dildar (2020) menunjukkan bahwa terdapat pengeluaran yang signifikan dalam konsumsi kosmetik rata-rata di kalangan perempuan muda, usia 18-40 tahun, pada masa resesi hebat (great recession) Amerika Serikat pasca 2001. Penjualan lipstik di Amerika Serikat naik hingga 11% pada kuartal terakhir 2001.
Lipstick effect terjadi karena substitusi pengeluaran untuk pakaian, beralih ke barang yang lebih murah seperti lipstik, walaupun mereka mengurangi porsi pengeluaran untuk kategori barang-barang lain. Studi itu menunjukkan bahwa keinginan psikologis untuk memanjakan diri dengan cara yang lebih hemat saat kondisi ekonomi sulit menjadi dorongan utama terjadinya lipstick effect.
Terdapat fenomena yang berbeda pada 2020, ketika tekanan ekonomi begitu dahsyat karena pandemi Covid-19 tetapi penjualan lipstik malah turun. Berdasarkan laporan Forbes, yang mengacu pada analisis McKinsey & Company terhadap penjualan Amazon di Amerika Serikat, penjualan lipstik mencatatkan penurunan 15% dan harganya menurun15%. Produk make up mengalami penjualan yang lebih rendah dibandingkan dengan perawatan kulit (skincare).
Salah satu penyebabnya adalah masyarakat banyak yang beraktivitas dari rumah sehingga tidak memerlukan banyak make up. Apabila bepergian ke luar rumah pun mereka menggunakan masker, sehingga bagian bibir dan hidung tertutup dan penggunaan lipstik menjadi berkurang. Selain itu, berkembangnya fitur panggilan video (video call/conference) seperti melalui Zoom membuat penggunaan make up menjadi lebih terbatas.
Apakah lipstick effect terjadi di Indonesia?
Tekanan ekonomi global terjadi sejak 2020 akibat pandemi Covid-19 yang membatasi aktivitas masyarakat, menghambat perdagangan dan jasa, hingga menekan pasar modal. Dampak ekonomi terjadi berkepanjangan hingga beberapa tahun, yang dikenal sebagai scarring effect. Output ekonomi menjadi lebih berat bagi negara berkembang karena harus menghadapi hilangnya potensi ekonomi dan tantangan untuk mempercepat pemulihan.
Bagi Indonesia, scarring effect dari pandemi Covid-19 diantaranya menyentuh aspek daya beli atau konsumsi, simpanan masyarakat, dan ketersediaan lapangan kerja. Sejak pandemi Covid-19, konsumsi rumah tangga dalam struktur produk domestik bruto (PDB) selalu tumbuh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi, mencerminkan adanya tekanan daya beli masyarakat.
Riset Mandiri Institute pada April 2025, yang menganalisis perkembangan belanja masyarakat pada masa Ramadhan dan Idul Fitri 2025 menunjukkan adanya fenomena doom spending di Indonesia. Belanja yang bersifat gaya hidup dan impulsif seperti untuk kebutuhan olahraga, hobi, hiburan, dan gawai (gadget) tumbuh lebih tinggi dibandingkan masa Ramadhan dan Idul Fitri 2024. Pada tahun sebelumnya, kelompok belanja yangtumbuh tinggi adalah untuk kebutuhan sehari-hari seperti bahan makanan, kebutuhan rumah, dan barang tahan lama (durable).
Di kelompok masyarakat bawah, porsi belanja kelompok olahraga, hobi, hiburan, (sport, hobby, entertainment) pada masa Ramadhan dan Idul Fitri 2025 tercatat sebesar 13,2 persen, naik dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 3,1 persen. Porsi belanja handphone atau gawai pada 2025 adalah sebesar 7,5 persen, naik dari tahun sebelumnya yang sebesar 3,1 persen.
Sementara itu, porsi belanja supermarket pada masa Ramadhan dan Idul Fitri 2025 tercatat sebesar 16,8 persen, turun dari tahun sebelumnya yang sebesar 30,8 persen. Kelompok barang elektronik selain gawai juga mengalami penurunan porsi belanja, yakni pada masa Ramadhan dan Idul Fitri 2025 adalah 6,2 persen, sedangkan pada tahun sebelumnya bisa mencapai 10,1 persen.
Lembaga Next Policy menilai bahwa kecenderungan masyarakat untuk membeli barang mewah menjadi cerminan mereka untuk mencari pelarian dari tekanan ekonomi. Pada 2024 lalu terjadi deflasi lima bulan beruntun, yang menjadi cerminan adanya penurunan daya beli masyarakat. Sementara itu, Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) menilai bahwa pengeluaran barang-barang kecil yang dianggap mewah memberi kesan bahwa kondisi ekonomi masyarakat tetap stabil, padahal daya beli riil sedang menurun.
'Pelarian' dari tekanan ekonomi juga terlihat dari banyaknya masyarakat yang mencari hiburan melalui konser musik. Lembaga riset Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai bahwa ramainya konser musik bukan semata-mata menjadi tanda ekonomi sedang baik, tetapi masyarakat risau atas kondisi ekonomi sehingga anak-anak muda mencari pelarian.
Sumber:
- https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S2214804319304884
- https://www.wsj.com/articles/SB1006731471172641080
- https://www.economist.com/business/2009/01/22/lip-reading
- https://www.forbes.com/sites/angelachan/2021/03/26/the-road-to-retail-recovery-the-lipstick-index/
- https://www.imf.org/en/Publications/WP/Issues/2023/08/04/Revisiting-Covid-Scarring-in-Emerging-Markets-537590
- https://ekonomi.bisnis.com/read/20250205/9/1836994/konsumsi-rumah-tangga-di-bawah-pertumbuhan-ekonomi-2024-daya-beli-lesu
- https://www.instagram.com/reel/DHsvJ9jT0A1/
- https://nasional.kontan.co.id/news/survei-mandiri-institute-masyarakat-mengerem-belanja-pada-libur-lebaran-2025
- https://tirto.id/fenomena-lipstick-effect-mendorong-utang-menggerus-tabungan-g5gb
- https://www.instagram.com/reel/DKzXK3pJSg7/





office
Lina Building, 2nd Floor Unit 211JL. Rasuna Said Kav. B7
South Jakarta 12910 - Indonesia
Workshop
At Braga Tech OfficeJl. Cilaki No.23, Bandung Wetan
Bandung City 40114 - Indonesia